Sabtu, 10 Desember 2011

HUJAN KEDUA



Masih ingatkah kau, kekasihku
Saat sembab matamu bersarang di sudut kiri dadaku
Memancarkan buram yang menghalangi seutas pelita
Dan menggelayutkan luka yang mengunci langkah ini
Menghentikanku dalam degup sebuah perjalanan

Air matamu mengekor,  kekasihku
Mengikuti langkah  dalam setiap titian telapak ini
Menjadi buih dalam bulir peluh ini
Menjadi lembayung dalam cakrawala ini
Engkau yang tak pernah terlupakan

Masih ingatkah kau, kekasihku
Saat sembab matamu menjadi hujan
Mengaliri setiap relung yang dahaga ini
Membasahi segenap raga yang mulai lunglai
Aku hanyut dalam titik tangisanmu

Desah lirihmu, kekasihku
Mengalun dalam gerimis yang mulai merambat
Mencipta deting merdu petikan kecapi
Meniupkan angin yang membelai ekor rambutku
Kau masih tetap bertahta

Kini aku yang harus mengingat, kekasihku
Bahwa diekor mataku tercipta hujan kedua
Yang t’lah membawamu hanyut entah kemana
Membawa seutas cinta yang pernah kau sematkan
Aku yang merana, tak berdaya....

Jumat, 09 Desember 2011

JATUH



Bilakah engkau tahu bidadariku
Jalan ini terlalu licin bagi kedua telapak kakiku
Aku selalu terjelembab dan terjatuh
Terperosok dalam luka-luka yang tersayat

Aku tak menangis bidadariku....
Ini hanya luka biasa dari ketidak mampuanku berdiri tegak
Dari jalan panjang tuk meraihmu

Bilakah engkau tahu bidadariku
Jatuh ini teramat sakit
Namun ku tak berusaha bangkit dari dera ini
Aku t’lah terikat   dan tak mampu berlari
Karena dalam jatuh ini kau telah membawa separuh dari atmaku

Aku tetap tak menangis bidadariku
Jatuh ini hanya sepintas perjalanan dari  risalatku
Dan aku sering merasakan jatuh yang sama walau tak sesakit ini

Bilakah engkau tahu bidadariku
Aku terperosok dalam lembah minder dan  ragu
Saat aku makin sering terjatuh
Memar dan luka terus hiasi asa ini, dan aku makin tak bertepi
Aku makin tak berarah, dan jalan ini makin bias dari bayangmu

Di titik  aku menangis bidadariku
Aku tlah kehilangan arah dari jatuh yang kesekian kalinya
Semua t’lah bias dan sirna, dan aku makin terluka
Aku sudah tak mampu lagi rasakan betapa jatuh ini sakit atau terlalu sakit
Hanya yang ku tahu semua sirna, tanpa kata, tanpa rasa, tanpa asa....









KARENA KAU TERCIPTA (bukan) UNTUKKU



Aku yang ingin merengkuhmu
Dari balik redup lentera ini
Dengan asa yang berirama seperti denting kecapi
Yang mengagungkan cendayan wajahmu bak padma di riak  telaga 

Kau hadir menjadi cahaya dari kegelapan yang mulai menyelimuti arah penglihatanku
Kau basuh aku dengan embun saat lelah  mulai menerpaku
Kau bawakan aku lilin saat ku tak ingat lagi waktu yang sedang ku lalui
Kau alunkan aku seuntai syair saat tak lagi mampu ku alunkan do’a - do’a
Kau bawakan aku sebilah pisau saat temali jemu mulai melilitku

Lalu aku makin memujamu
Menjadikan keseluruhanmu fajar yang kan terus menerangi seluruh rasaku
Dan lalu kau menjelma menjadi mata air dalam setiap dahagaku
Menjadi detak waktu yang terus menemani seluruh kerinduanku
Menjadi angin dalam semua helaan nafasku
Dan menjadi raga dalam ruh ku

Aku terpatri dalam kegandrungan auramu
Lalu terpanggang ketika panas  mentari terus menyinariku
Dan Tenggelam dalam sungai yang ku arungi
Dan telapak tanganku terbakar disaat ingin membuat lilin itu abadi
Terhempas ketika desir angin itu mulai membuatku limbung
Lalu aku menjadi ruh tak beraga...
Karena ku t’lah buta ketika ingin melihat sesungging senyummu
Dan t’lah tuli ketika ingin ku dengar merdu suaramu

Aku t’lah menjadi taman yang kosong
Saat aku terus mengharapkan kau memberiku seunatai bunga
Aku t’lah menjadi tanah kering saat engkau tak lagi menjadi hujan
Dan aku t’lah menjadi ranting-ranting patah saat kau menjadi kelopak bunga

Aku menjadi zat tanpa warna
Yang menjadi pasi ketika mulai ku tahu bahwa kau bukanlah teratai yang hiasi birunya telaga ini
Dan kini ku tahu kau  ‘bukan’  untukku

Namun percayalah..
Walau  jemari  ini kan terus terbakar
Tapi lindip lilin ini kan terus ku buat abadi..

Lembar kata yang tak terkirim


Selasa, 06 Desember 2011

Memori lalu di Desa kelahiranku

Syairku di mata air Tonjong, Brebes, Jawa Tengah

Kandas



Lembayung masih memerah
Mega- mega masih berarak beriringan
Namun angin tak bersuara, senja tak bersuara...
Hanya gemuruh hati dari tarikan nafas yang kandas
Yang terus berpacu dengan sesaknya gagal ini...

Auramu memaksaku berlari menjauh,
walau aku tetap terdesak pada tebing pesonamu
Kau paksa aku pada pilihan yang kesemuanya membuatku terenggut
Lalu terjatuh dalam bimbang dan ragu,.. bahkan remuk menjadi kepingan yang tak utuh

Senyum yang kau miliki bukan untukku
Kau tak pernah menjadikan perasaanku sebagai bingakai untuk menjaga hatimu dalam diorama cinta

Harusnya aku menyadari dari awal
Sehingga takku kayuh perahu ini  agar dekat denganmu
Aku gagal dalam mencintaimu
Aku tlah mati dalam rasa ketika harus kututup mataku
Untuk sekedar menyaksikan anggukanmu

Nis... akulah lelaki yang selalu berkawan dengan berjuta do'a
Ketika bibir ini tak mampu ucapkan untaian cinta untukmu
Tetapi di sini juga, harus kuhentikan penantian ini
Untuk Menjadikanmu Teman dalam taman berenda kasih

Aku harus pasrah, dan kubiarkan kesakitan ini seperti bekas sembilu
Namun yakinlah, meski aku tak pernah ada di hatimu
Kamu akan menjadi kupu-kupu dalam kembang perasaanku
dan kan tetap ada bidang kosong dalam hatiku untukmu..

Dari Sebuah Surat Yang tak pernah terkirim

Dari sebuah surat Yang Tak pernah terkirim

Dari Sebuah Surat Yang Tak Pernah Terkirim


Nis...ini hujan ke dua di musim ini, dimana khayal terus kalahkan asa
Mungkin ini terdengar bodoh, tapi aku terus merangkul rasa ini
itu semua untuk sekedar puaskan hatiku dengan senyum yang selalu ku harapkan

Hadirmu adalah bagian terpenting, saat kegelapan hatiku membutuhkan seutas sinar
Kau cahaya yang pudarkan redup saat hatiku mulai limbung.

Aku tahu, ada rasa yang membutakan hatiku...
Itu semua terjadi saat angkau hadir dalam secarik memory yang tersimpan dibawah sadarku
Kau bawa aku bangkit dari keremangan saat aku tak memiliki arah.
Tapi pada saat yang sama ilustrasi wajahmu jatuhkan aku dalam minder dan ragu

Teramat sempurna kau menggores hati ini
Bak pena yang mencoret secarik keretas
Hingga tak dapat di hapus bahkan tak hilang di terpa dua musim di hujan yang ke dua di musim ini

Nis... teramat dalam kekagumanku pada keseluruhanmu
Bahkan batas sisi dua ruang tak mampu menghapus bayangmudalam bagian terdalam hati ini

Engkau memaksaku menciptakan satu hikayat
Dimana aku menjadi kumbang tak bersayap yang merindukan titik madu dari kembang dipuncak bukit

Tapi yakinlah... aku kan tetap merindukanmu..
Walau pasti tak bertepi...