Jumat, 09 Desember 2011

JATUH



Bilakah engkau tahu bidadariku
Jalan ini terlalu licin bagi kedua telapak kakiku
Aku selalu terjelembab dan terjatuh
Terperosok dalam luka-luka yang tersayat

Aku tak menangis bidadariku....
Ini hanya luka biasa dari ketidak mampuanku berdiri tegak
Dari jalan panjang tuk meraihmu

Bilakah engkau tahu bidadariku
Jatuh ini teramat sakit
Namun ku tak berusaha bangkit dari dera ini
Aku t’lah terikat   dan tak mampu berlari
Karena dalam jatuh ini kau telah membawa separuh dari atmaku

Aku tetap tak menangis bidadariku
Jatuh ini hanya sepintas perjalanan dari  risalatku
Dan aku sering merasakan jatuh yang sama walau tak sesakit ini

Bilakah engkau tahu bidadariku
Aku terperosok dalam lembah minder dan  ragu
Saat aku makin sering terjatuh
Memar dan luka terus hiasi asa ini, dan aku makin tak bertepi
Aku makin tak berarah, dan jalan ini makin bias dari bayangmu

Di titik  aku menangis bidadariku
Aku tlah kehilangan arah dari jatuh yang kesekian kalinya
Semua t’lah bias dan sirna, dan aku makin terluka
Aku sudah tak mampu lagi rasakan betapa jatuh ini sakit atau terlalu sakit
Hanya yang ku tahu semua sirna, tanpa kata, tanpa rasa, tanpa asa....









KARENA KAU TERCIPTA (bukan) UNTUKKU



Aku yang ingin merengkuhmu
Dari balik redup lentera ini
Dengan asa yang berirama seperti denting kecapi
Yang mengagungkan cendayan wajahmu bak padma di riak  telaga 

Kau hadir menjadi cahaya dari kegelapan yang mulai menyelimuti arah penglihatanku
Kau basuh aku dengan embun saat lelah  mulai menerpaku
Kau bawakan aku lilin saat ku tak ingat lagi waktu yang sedang ku lalui
Kau alunkan aku seuntai syair saat tak lagi mampu ku alunkan do’a - do’a
Kau bawakan aku sebilah pisau saat temali jemu mulai melilitku

Lalu aku makin memujamu
Menjadikan keseluruhanmu fajar yang kan terus menerangi seluruh rasaku
Dan lalu kau menjelma menjadi mata air dalam setiap dahagaku
Menjadi detak waktu yang terus menemani seluruh kerinduanku
Menjadi angin dalam semua helaan nafasku
Dan menjadi raga dalam ruh ku

Aku terpatri dalam kegandrungan auramu
Lalu terpanggang ketika panas  mentari terus menyinariku
Dan Tenggelam dalam sungai yang ku arungi
Dan telapak tanganku terbakar disaat ingin membuat lilin itu abadi
Terhempas ketika desir angin itu mulai membuatku limbung
Lalu aku menjadi ruh tak beraga...
Karena ku t’lah buta ketika ingin melihat sesungging senyummu
Dan t’lah tuli ketika ingin ku dengar merdu suaramu

Aku t’lah menjadi taman yang kosong
Saat aku terus mengharapkan kau memberiku seunatai bunga
Aku t’lah menjadi tanah kering saat engkau tak lagi menjadi hujan
Dan aku t’lah menjadi ranting-ranting patah saat kau menjadi kelopak bunga

Aku menjadi zat tanpa warna
Yang menjadi pasi ketika mulai ku tahu bahwa kau bukanlah teratai yang hiasi birunya telaga ini
Dan kini ku tahu kau  ‘bukan’  untukku

Namun percayalah..
Walau  jemari  ini kan terus terbakar
Tapi lindip lilin ini kan terus ku buat abadi..

Lembar kata yang tak terkirim