Selasa, 16 Oktober 2018

Yang terdalam



Karena malam ini masih ada sisa hujan,
Aku memanggilmu bersama lembut semilir angin
Bukankah itu hal yang sempurna untuk hantar kerinduan?
Dan menjadikannya buah asa untuk hantar pena asmara
Ah, aku bermimpi tentang kita
Bercengkrama indah di sisi malam dalam ruang sisa hujan
Ku pegang ujung dagumu, 
Dan aku diantar kornea untuk luruh dalam sumbang getar asmara

Karena malam ini masih ada sisa hujan,
Maka kubiarkan aroma tanah ini seperti sisa hujan musim sebelumnya
Lentik jarimu masih menggenggam erat 
Kecupan itu bagai noktah yang tak sirna
Aku masih dalam lingkaran kidung asmarandana
Kaulah pesona yang tak lekang baluri atma

Karena malam ini masih ada sisa hujan,
Mata ini nanar memaksa agar bayangmu hadir di sana
Kau menari memanggil gejolak jiwa yang menjadi pecundang
Haruskah ada air mata?
Ataukah harus diam membatu dalam kerapuhan?
Kau katakan biarkan air mata tetap bersarang di kelopaknya
Jangan terjatuh walau asmara menyiksamu sedemikian rupa
Pantang jalan lelaki menangis karena kerinduan

Ah, kau tak tahu bidadari bermata indah
Aku harus berpura tabah 
Aku bak cawan kosong saat kau hilang dalam bayang
Sungguh ini yang terdalam,
Walau ku tahu ini terlarang

Tangerang, kamis 22:27  (rapuh 18/01/18)



Sanggupkah?



Kemarin saat kita bersama dalam satu waktu
Kau bisikan kerinduan yang tak pernah mampu kau lukis
Gemuruh membuncah di dada kiriku
Sementara malam menghantar diam
Aku terperangkap dalam pusaran gairah muda yang tak lagi muda
Korneamu bangkitkan aku dalam keinginan seutuhnya
Walau ku tahu kemuliaan telah melingkar dalam lentik jemarimu

Remang cahaya menghantar atma saat logika tak lagi bekerja
Tirus pipimu berhiaskan dagu nan indah telah hantarkan jiwa ini menuju safana
Akulah lelaki yang berdiri di balik rembulan
Terlena akan kisah asmara sumbang yang menjadi terlarang
Menghunuskan sembilu dari rindu yang urung jua menyatu

Bukankah wajar ku dekap kerinduan?
Saat temaram sinar bawa sepenggal  sketsa wajahmu
Berbaur dalam jiwa-jiwa labil yang terlena asmara
Dan aku terperangkap didalamnya

Kaulah baid doa yang hiasi goresan penaku
Risalahmu adalah kalimat terindah dalam baid – baid kata
Kau kecup jemariku, dan aku mendekap
Ah, aku berhalusinasi lagi
Tentangmu, tentang kita, tentang kisah sumbang nanterlarang
Dan menjadi asa asmara yang ingin ku lupa
Sanggupkah?




Tak pernah pudar





Aku yang masih bersama angin
Melukiskan malam dengan wajah tirus yang sempat singgah diantara rindu
Rindu ? ya, mungkin aku lupa akan kerinduan dari ekor matamu 
Kerinduan yang mengartikan rasa terlarang, namun aku terus hanyut didalamnya
Aku tak pernah mampu berlari dari bias kornea yang menusuk kalbu ini
Kau menjadi cambuk renjana yang menyisakan gurat perih saat ku tersadar
Inilah selaksa rindu yang membuat terapung berkepanjangan
Kala realita menggurat nyata, ‘kau takan termiliki’
Ada dusta jiwa yang membuat lumpuh logika
Dan aku terus menanam rasa, sampai lena menjadi lencana
Lalu ku tenggelam dalam awal nestapa
Sekian waktu yang tak terhitung, aku terus dalam buai tatapan yang seakan kemarin lusa
Tatapan yang terus hanyutkan rasa ketika aku tak ingin tenggelam
Dan aku makin terpuruk

Aku yang masih bersama angin
Ujung dagumu masih membekas dalam rindu yang belum sirna
Aroma tubuhmu masih bercerita saat kau jatuh dalam pangkuan
Kau masih menjadi candu dalam rindu yang lekang dalam waktu
Aku ingin pergi, agar kau tahu bahwa aku terbeban rindu
Asmara ini tak bisa membuat permadani saat ku ingin kau menjadi permaisuri
Dan aku tak sanggup mencengkram jemari yang terhiasi janji suci
Hingga ku pupus  dalam asa

Aku yang masih bersama angin
Membelai legam rambutmu
Menatap ketulusan korneamu
Tirus wajahmu tertunduk, hilang dalam pelukan
Ya amor, rupanya singgah mimpi di bathin sepi
Ku gadang asmara dalam rangkulan, kau pupus dalam genggaman
Dan sungguh ku masih merindu

Tangerang , minggu 10/12/17 (dalam kerinduan 360)






Pemujamu dalam diam



Malam menghantar kebisuan
Namun rintik air hujan adalah berjuta tentang bayangmu
Kau mentertawakanku saat kubawakan seutas lilin
Dan angin meniup landai
Tangan ini terbakar saat berusaha mempertahankan
Aku apatis, 
gejolak hati ini  adalah kemarahan yang mengelegar
Aku benci akan kerinduan ini
Luluh lantak sudah istana pasir yang kubangun 
Kau tlah menjadi badai dalam kegelisahan 
Sirnakan apa yang menjadi cita-cita
Ah, aku lena dalam asmara
Pesonamu menjadi istana atas angin
Dan aku terpuruk dibalik tebing pesonamu

Ingin ku benci rindu ini
Tapi ku terus mendekap
Aku berteman bayang 
Namun bibirku terkatup dalam gamang

Ingin ku pegang ujung gaunmu
Agar jumput debu tak mengotorinya
Tapi aku hilang dalam balik bayang
Bukankah aku hanya sebuah waktu yang tak bermakna

Kaulah risalat yang menjadi teman dalam setiap doa-doa
Kaulah risalat yang menjadikan satu dua kata menjadi syair yang tertata
Kaulah chord yang menjadikan desir angin menjadi sebuah nada
Dan kaulah risalat yang menjadikan aku pemuja dalam diam

Tangerang 11:11 (masih sama 18/01/18)







Lena di bisu malam



Hai, mantra pengantar tidur
Tenangkanlah jiwa-jiwa gundah ini untuk sekedar lelap di tepi malam
Biarkanlah rindu ini menghantar mata untuk terpejam
Menunggui sampai terjaga nanti
Menjadi selimut untuk kebekuan kalbu
Menjadi alunan pengiring dawai asmara yang menggenggam seluruh rasa

Biarkan gemercik air menjadi teman padma yang berbunga di atasnya
Merambat dan mengikat hara untuk keteguhan putik sari yang melengkapinya
Begitupun kamu wanita yang menjadikanku pemujamu
Inilah kesunyian malam yang menjadi kerinduan
Korneamu yang indah telah menjadikan doa selalu menemaniku
Kau adalah anugrah yang menjadi kegandrungan
kau adalah kumpulan keindahan yang pernah ku sentuh
namun bisu malam menjadikan kebekuan diantara keduanya

engkaulah risalah asmara yang menjadikan doa selalu hidup
rangkulan semoga-semoga, setia menemani dalam keinginan asa asmara
bukankah wajar laki-laki yang jatuh cinta berkawan dengan do’a?
ataukah ini nista yang menjadikanku berselimut nestapa
ah, tak pernah itu bisa ku jawab
hanya saja rindu ini terus ada dikebisuan malam
walau ku tahu ini terlarang

tangerang, jumat 00:13  belaian angin malam (12/01/18)


Masih tentang malam



Ah, malam ini awan tak mengantar hujan
Hanya angin yang berhembus menjadikan dedaunan bergoyang
Bukankah aku merindukan sketsa wahamu yang senantiasa menjadikan hujan kerinduan?
Bukan merindukan hujan untuk melihat wajahmu didalamnya

Ya Tuhan,
Rasa apa yang membucah di Atma ini
Bukankah ombak akan menghanyutkan istana pasir yang berdiri di depannya?
Begitupun rindu ini, bukankah harus sirna karena terlarang di dalamnya?
Lalu, kenapa ini tumbuh dan menjadikan lena dalam sunyi malam kali ini?

Akulah safana di malam buta
Tiadalah kau bisa pulang dalam remang lentera
Aku mematri rindu dari sketsa wajahmu
Laksana bintang menemani malam, dan sinar bulan yang membuatnya tiada
dan aku terasing dalam pusaran awan 

kau adalah pembuat kerinduan
bahkan auramu adalah baid-baid doa dalam diamku
namun entah do’a apa yang meski terlantunkan
kala kusadari ‘ini terlarang ‘

tangerang, jumat 00:39 (Hampa 12/01/18)


Hujan

Hujan 

Bukankah ada doa dalam setiap tetesan air hujan?
Kau pernah tanyakan itu saat ku rangkul bahumu ketika butiran hujan jatuh di ujung rambutmu
Aku ingin menjadi payung, agar hujan dilanda cemburu
Bukankah butiran hujan ingin menyentuhmu?
Tapi kau malah bersandar  dalam rangkulanku
Aku tak ingin ujung gaunmu menjadi basah
Maka biarkan aku memegangnya, dan payung ini kita genggam berdua
Kau tahu, kita menjadi satu dalam kesyahduan diantara hujan
Dan  ini menjadi kembang rindu 
Saat s’mua menjadi sketsa

Bukankah ada kerinduan dalam setiap tetesan air hujan?
Aku tersenyum pada jalan yang kosong ini
Tapak kita tlah pupus dalam waktu semakin menjauh
Hilang dalam keangkuhan atma yang mengeras 

Bukankah selalu ada bayangmu di setiap tetesan air hujan?
Aku ingin napak tilas dalam keyakinan yang saat ini terburai
Kesakitan menjadi kesaksian bisu akan jalan lengang musim hujan kali ini

Bukankah kau pernah bilang bahwa dalam hujan akan selalu ada bias wajahmu?
Ah,, kau bohong nona’
Bahkan tak kutemukan sayu tatapmu yang menyertai sembunyinya mentari kala itu
Aku tergerus nestapa, bahkan kala kau pagi itu berjanji 
ini bukan hujan terakhir yang kan mengikat genggaman kita
‘sisa hujan akan selalu mengukur jiwa- jiwa kita yang di terpa asmara’
Lirihmu kala itu
tapi semua semu belaka
kau tak pernah hadir jua dalam sua rintik hujan saat ini
dan ku membeku dalam diam dan sesat langkah
aku pemuja hujan yang yang menantang awan
dan takan pernah kau lihat air mata dalam kerinduan ini
aku atau kau yang terluka saat hujan tak lagi menyatukan kita
dan ujung gaunmu takan lagi basah saat kau melangkah
kau adalah bayangan yang masih utuh walau tak bersisa

tangerang, 23:17 dalam gamang 11/01/18 (toto cy)





Asmara bisu

Asmara bisu

Kau ucap di pagi ituKapankah semua terwujud asa sua singgasana asmara
Kala harum rambutmu menyentuh syaraf-syaraf penciumanku
Kau kurengkuh dengan gairah jiwa yang membuncah
Kurapatkan katup bibirku 
Dan kau terdiam dalam lena asmara
Saat dagumu kukecup 
Lirih kau berkata
‘bisakah ini menjadi nyata? ‘

Ada keyakinan yang tertingal diujung kornea
Tajamnya pandangan dari elok tatapmu
Sempat menembus bagian terkecil dalam jiwaku
Kau tujuan yang ingin ku datangi
Tapi ini terlarang, jari manismu terikat ikrar suci
Dan harus ku bakar tapak kakiku saat berhenti untuk melihat dagu tirus yang pernah kusentuh

Inikah asmara bisu dari batas harap dalam angan
Ataukah semua kan menjadi debu dalam angin
Entahlah, aku atau kita yang terluka saat ini?
Bahkan buih benci mungkin tertanam dihatimu
Saat ku mesti bersembunyi dari kegandrungan rindu akanmu
Aku bisu saat kau bertanya dan kututup semua risalah tentangmu
Agar semua seolah baik-baik saja

Inilah gambaran kebencian akan kerinduan ini
Korne matamu, dagu tirusmu selalu menggoda untuk ku sentuh
Jiwaku sungguhlah sakit saat aku ingin membenci ini
Kau tak bisa pudar dalam patrian rindu
Walau ku tahu ini terlarang

Tangerang, 23:48 (dalam patrian rindu 3600) 11/01/2018